Sabtu, 20 Agustus 2011

“Berjuang untuk Eksistensi” atau “Eksistensi untuk Berjuang”?

Oleh: Muhammad Hasan Darojat (Penasehat Hima Persis PK Unpad)


Pertanyaan di atas saya utarakan setelah melihat banyak sekali kesenjangan yang terjadi pada lingkungan pergaulan yang saya geluti di Bandung dalam konteks apa yang orang sebut “eksistensi” dan “perjuangan". Saya tidak bermaksud merendahkan siapa-siapa, namun ini hanya jadi sebagai celotehan pengantar diskusi saja seperti yang biasa dilakukan selama ini. Namun, saya khawatir juga di lingkungan kampus saya, lingkungan “intelektual” ini di musim-musim polarisasi kekuatan dan black campaign seperti saat ini, kritik sedikit bisa dimanfaatkan dengan sedikit modifikasi hingga jadi bahan fitnah dan akhirnya mempertentangkan saya dengan lingkungan ormas keagamaan yang membesarkan saya, sementara di lingkungan ormas sendiri keterbukaan kritik-mengkritik itu hal yang biasa sepanjang itu fair dan kostruktif.
Untuk “adik-adik” saya yang menggantikan saya menjabat di kepemimpinan Hima Persis Unpad, kalau saya benar-benar masih dianggap sebagai anggota penasehat --walaupun saya merasa tidak mumpuni, tidak layak dan tidak menyanggupi, dan pada faktanya pun dalam QA/QD tidak ada anggota penasehat di tingkat PK-- maka anggap saja ini sebagai nasehat ringan yang dibicarakan dengan santai. Kalau ada yang tidak setuju dan tidak terima, kritik saja dengan lebih pedas sekalian. Tidak apa-apa bila saya disebut “hanya berbicara saja” dan memang sudah lama saya vacuum. Mudah-mudahan, teman-teman tidak bosan mengajak saya dalam berbagai kegiatan.

Saya tidak memahami konsep njelimet tentang “eksistensi”, juga tidak memahami filsafat eksistensialisme dan memang saya tidak berniat membahas hal itu semua di sini. Saya hanya memahaminya dengan sederhana sesederhana ayat Al-Qur’an membicarakan tentangnya.

Pertanyaan tersebut selalu saya pendam dalam hati dan ingin disuarakan setelah sering sekali saya mendengar kalimat-kalimat yang menunjukkan kemunduran dan kelesuan. Kalimat-kalimat itu kira-kira begini.

“Kita harus mencari isu yang bersifat nasional, supaya nama organisasi kita juga bisa me-nasional. Kita jangan terjebak mempermasalahkan isu-isu lokal yang sempit.”
“Kita harus ‘eksis’ supaya orang-orang kampus, khususnya alumni lulusan sekolah-sekolah ormas kita, tahu bahwa organisasi kita itu ada di kampus ini.”
“Kita harus banyak berkomunikasi dengan ormawa-ormawa lain, supaya mereka tahu bahwa organisasi kita itu ada.”
Apa kira-kira yang bisa direnungkan dari kalimat-kalimat itu?
Persoalan yang menarik dipersoalkan di sini adalah mengenai persoalan “mana yang melandasi yang mana” atau persoalan niat. Niat ini adalah sesuatu yang melandasi suatu perbuatan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia itu pasti memiliki niat di dalamnya. Makanya ada kaidah ushul al-umuru bi maqosidiha.

Dalam Islam, perkara niat ini merupakan perkara yang sangat krusial karena perkara inilah yang menentukan nilai yang terkandung dalam amal manusia yang mana standar nilai ini adalah keridhoan (diterima atau tidaknya oleh) Allah Swt. Dalam khasanah Islam, perkara niat ini menempati porsi yang sangat signifikan. Imam An-Nawawi mengawali kitab Syarhul Arba’in-nya dengan pembahasan hadisinnamal a’malu bin-niyyah. Yusuf Al-Qaradhawi pun menulis buku berkaitan dengan ini, An-Niyyah wa al-Ikhlash.

Akan tetapi, yang dibahas di sini bukan bermaksud meneliti niat seseorang, karena itu perkara ghaib. Namun setidaknya setiap kalimat memiliki penunjukkan arti tertentu. Oke lah, dalam tulisan ini, penunjukkan arti itu saya sebut motivasi. Motivasi inilah yang dapat juga menentukan kesehatan niat suatu ucapan. Makanya, ada kaidah ushul maqoshidul-lafdzi ‘ala niyyati l-laafidz. Maksud sebuah ucapan itu tergantung kepada niat daripada dari pengujarnya. Tentang motivasi inilah yang akan dipersoalkan dalam tulisan ini.

Dalam konteks kalimat-kalimat di atas, semuanya seolah-olah memberi penunjukkan bahwa motivasi dari amal suatu pergerakan organisasi Islam adalah “eksistensi”. Wallahu a’lam pengujarnya niatnya seperti apa. Menurut An-Nabhani salah-satu naluri yang ada pada manusia adalah eksistensi. Jika yang jadi motivasi untuk bergerak semata-mata adalah gairah eksistensi diri, apalagi dengan memanfaatkan isu-isu keIslaman maka inilah yang dikecam dalam Islam.

Tentang Eksistensi
Al-Qur’an menyinggung masalah eksistensi ini. Allah Swt berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56
“Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembahKu.”
Ayat ini memberikan isyarat bahwa sesungguhnya pada manusia, “eksistensi” telah lebih dulu ada daripada “perjuangan”. Mungkin, eksistensi inilah yang disebut sebagai rizqi. Manusia diberi eksistensi sedemikian rupa tinggal kemudian mereka dituntut untuk “berjuang”, yaitu dalam wujud ibadah dalam arti luas kepadaNya. Demikianlah yang tersurat yang menjadi tujuan hidup manusia. Jangan sampai tebalik. Bukannya memanfaatkan eksistensi untuk ubudiyyah, malah melakukan ‘ubudiyyah’ (?) untuk memperoleh ‘eksistensi’.

Kehilangan Jati Diri
Kesenjangan ini tampaknya sudah sangat disadari oleh Ustadz Tiar Anwar Bachtiar. Dalam makalahnya, Menemukan Kembali Jati Diri Kaum Muda Persis yang disampaikan pada acara SilakPI Unpad, beliau mengatakan,
Persis yang saat mula didirikan sebagai organisasi kemudian berubah menjadi satu sebutan untuk tindakan-tindakan simbolik terentu yang berkaitan dengan masalah keagamaan seperti tidak menggunakan bedug, tidak qunut subuh, shalat ‘ied di lapangan, dan identitas-identitas lain yang biasa disandangkan pada “Persis”.
Persoalannya, ketika nama “Persis” telah diidentifikasi sebagai tindakan-tindakan simbolik tadi, maka kemudian orang akan mengenal dan mengenalkan Persis dengan identitas-identitas tadi. Persis sudah bukan lagi sekadar sebuah organisasi yang mewadahi para anggotanya berdakwah, tapi sudah menjadi—semacam—simbol untuk komunitas masyarakat tertentu dengan identitas simbolik di atas. Dengan begitu kemudian dipahami bahwa dengan memiliki identitas di atas, orang boleh disebut sebagai Persis. Namun, bila ada anggota Persis yang tidak meiliki identitas-identitas di atas akan dianggap sebagai telah keluar dari “pakem (paham keagamaan, peny.) Persis ”.

Persoalan kasuistis di atas bukan bermaksud semata menyoroti secara sempit hanya pada masalah ‘simbolisitas’ ormas, namun hal besar yang dapat kita identifikasi dari sana adalah adanya suatu distorsi jati diri atau kehilangan jati diri pada ormas Islam.

Dalam konteks organisasi pergerakan Islam, suatu perjuangan harus memiliki landasan konseptual dan metodologis yang ajeg dan sistematis yang diambil dari contoh Rasullah sebelum kemudian melakukan pergerakan dan kaderisasi anggota sebab Rasulullah adalah teladan yang paling baik. Bisa dibayangkan, anggota seperti apa yang dihasilkan dari organisasi yang tidak jelas kelaminnya seperti apa? Yang ada, Departemen Kaderisasi di level PK sampai PD (kurang tau kalau di level atas) menjadi sangat kebingungan. “Ini kita mau memproduksi kader seperti apa?”

Anggota pun tidak akan tersatukan secara riil dalam arah perjuangannya sehingga pergerakan pun lesu dan tak tentu arah. Potensi konflik destruktif pun muncul lebih besar karena subur lahan-lahan kepentingan karena ideologi internal organisasi yang tidak ajeg. Konflik mungkin memang baik, tapi konflik yang dimaksud adalah konflik yang tertata yang berorientasi pada persatuan, bukan memperlihatkan sandiwara perebutan kepentingan yang alot dalam muktamar atau musyawarah-musyawarah lainnya yang mengangkat kepemimpinan baru. Konflik yang seharusnya porsinya lebih besar diarahkan untuk di luar organisasi dengan orang-orang yang menentang Islam, malah sering terjadi (lebih tepatnya sengaja dimunculkan) di dalam organisasi. Konfliknya pun bukan konflik konstruktif, tapi konflik destruktif. Apalagi konflik tentang perebutan kekuasaan pemegang pimpinan dengan memanfaatkan massa di tingkat komisariat misalnya. Itu terlihat seperti drakula yang menyedot darah.

Perkataan atau pebuatan yang menunjukkan motivasinya semata-mata mengejar eksistensi organisasi menunjukkan hilangnya jati diri Islam organisasi itu. Jati diri yang dimaksud adalah jati diri yang disebutkan Al-Qur’an di atas. Jati diri bahwa adanya manusia, keluarga, masyarakat, organisasi, dll adalah semata-mata untuk menyembah Allah. Jati diri yang memberikan kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan. Yang terlihat adalah organisasi yang harus ditolong oleh Islam, bukan Islam itu sendiri yang harus diperjuangkan oleh organisasi.

Peringatan mengenai perkara ini intinya adalah bahwa hendaknya tidak disibukkan oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan jati diri yang hakiki. Itu sekunder dan tersier. Sebuah organisasi harus memiliki konsep yang jelas dalam dirinya. Walaupun anggota cuma dua orang, tapi memiliki konsep yang jelas dan sahih melalui penelitian dan perenungan yang serius itu jauh lebih baik dan akan berkembang lebih baik daripada banyak anggota tapi masih pada bingung arah organisasi ke mana, metode perjuangannya seperti apa, ranah garapannya seperti apa, dan lain-lain. Oleh karena itu, persoalan ini sangat urgen. Bangun konsep yang mapan dan sistematis, usahakan fasilitas dasar organisasi, kemudian baru lakukan kaderisasi.

Demikianlah, penguatan jati diri Islam itu sangat penting. ana muslim qobla kulli syaiin. Pemamahan yang benar akan jati diri itu pun penting juga karena di belakang jati diri itu tercakup konsep-konsep penting yang harus dipegang dan dilaksanakan. Dengan kata sederhananya, pengakuan jati diri saja tidak cukup. Pengakuan ini harus diiringi dengan pemahaman tentang konsep-konsep yang ada di belakangnya (Akidah, Syariah, Akhlak, konsep dan metode Dakwah, dll).

“Berjuang untuk Eksistensi” Seperti Apa yang Dibolehkan bahkan Harus Diperjuangkan?
Eksistensi di sisi lain adalah merupakan hal yang harus dimiliki dan diperjuangkan. Mengapa? Karena dengan itu, Islam dapat memainkan perannya di dunia. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah telah membeli jiwa-jiwa dan harta-harta orang-orang beriman untuk surga.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ [التوبة: 111]
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka.” 
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ ]البقرة: 207[
“Dan di antara manusia ada orang yang menjual (mengurbankan) dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.”

Sebagaimana yang disebutkan di atas, eksistensi yang harus diperjuangkan adalah eksistensi dari jiwa dan harta yang telah dijual kepada Allah. Secara kolektifnya, eksistensi umat yang harus diperjuangkan adanya adalah eksistensi dari ummat yang telah menjual jiwa-jiwa mereka denganEksistensi semacam menjadi wasilah dari eksistensi Islam itu sendiri dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, umat Islam harus lebih ‘eksis’ dari umat-umat yang lain sehingga “peran”nya yang rahmatan lil ‘alamin dapat dilakukan tanpa tekanan berarti dari yang lain. Makanya, orang Islam yang terbunuh karena membela jiwanya, hartanya, agamanya dan kehormatannya itu disebut sebagai mati syahid. Ini pula lah yang melandasi perjuangan kemerdekaan umat Islam dari tangan penjajah, seruan untuk hidup mulia atau mati syahid.

Pada dasarnya, segala macam “eksistensi” itu membutuhkan “kekuatan” sebagai penopangnya. Dalam konteks eksistensi Islam pun, dibutuhkan kekuatan. Untuk membangun kekuatan, diperlukan seruan untuk membangun kekuatan yang biasa disebut sebagai suatu proses “dakwah”.

Logika yang dipakai dalam konteks membangun kekuatan ini adalah logika “persatuan dalam kebenaran”. Dalam konteks kondisi umat Islam di Indonesia saat ini, seruan untuk membangun kekuatan ini artinya adalah ajakan untuk berjuang menyatukan kekuatan dalam satu barisan, bukan sekedar “kerumunan-kerumunan”. Sebab, untuk membentuk satu ‘eksistensi’ kekuatan amar ma’ruf nahyi munkar yang berpengaruh secara politik, seperti kata pakar politik UI Eep Saefulloh Fatah, diperlukan “barisan”. Kalau sekedar berkumpul, orang-orang di pasar pun itu bisa disebut ‘berkumpul’. Allah pun mencintai orang-orang yang berjuang di jalannya dalam “satu barisan” seperti bangunan yang kokoh.
Melihat potensi umat Islam yang tercecer, baiknya usaha menyatukan barisan ini adalah dengan membuka kran silaturahmi dan silatulfikri serta membaca dengan sepenuh hati ide-ide baru dan ide-ide lama (salaf) yang diangkat kembali ke permukaan dengan semangat ingin belajar dan beramal sesuai hasil pelajaran itu. Islam adalah agama Hujjah. Hujjah terbaiklah yang harus dipilih. Penolakan atas hujjah yang diakui itu benar oleh diri sendiri karena terikat oleh kepentingan-kepentingan duniawi memperoleh ancaman yang berat dari Allah Swt dan mirip dengan perilaku ahli kitab yang tidak mau menerima kebenaran dari nabi terakhir.

Riilnya, menyatukan barisan dalam perjuangan eksistensi kekuatan politik umat Islam adalah dengan memberikan dukungan dan menjaga jaringan kekuatan dengan partai politik Islam yang bercita-cita mengembalinya institusi Khilafah Islamiyyah. Mengapa? Sebab, kekuatan yang riil dalam suatu masyarakt dan peradaban adalah berwujud sebuah negara, namun bukan negara bawah tanah yang ilegal yang mencap diri sebagai Negara Islam, tapi negara yang sah dan benar-benar memiliki wilayah kekuasaan yang jelas. Dalam konteks Indonesia misalnya, yang diperjuangkan adalah bagaimana supaya sistem politik di Indonesia diganti dengan Khilafah Islamiyyah. Ini memerlukan kehendak rakyat banyak serta simpul-simpul kekuatan.

Khilafah Islamiyyah inilah yang merupakan bukti “eksistensi” dan merupakan satu-satunya identitas politik umat Islam global yang riil yang dengannya Islam dapat disebut memiliki kekuatan politik. Kekuatan politik ini meniscayakannya untuk memimpin dunia dan menjalankan perannya memberikanrahmatan lil ‘alamin serta mengenyahkan situasi dunia yang carut-marut yang dipimpin oleh Kapitalisme seperti sekarang ini. Masyarakat yang tidak menyadari dominasi Kapitalisme dan bahaya yang ditimbulkan dan akan terus ditimbulkannya dalam dunia, keadaan akan semakin memburuk, termasuk di Indonesia, penjajahan akan terus mapan dan pengerukan kekayaan, eksploitasi SDA, stratifikasi sosial yang salah, perbudakan, masyarakat yang rusak, dll, adalah masyakat yang terhipnotis oleh anggur-anggurnya yang memabukkan sehingga pandangan menjadi kabur. Sesungguhnya Allah pun tidak suka akan fasad dan orang-orang mufsid. Di sinilah letak urgensinya Khilafah Islamiyyah.

Mengembalikan eksistensi Khilafah Islamiyyah ini pula yang merupakan sebuah gerakan ‘pembaruan Islam’ dalam konteks politik yang nantinya akan secara riil menyelamatkan umat Islam secara khusus dan dunia secara umum mengingat ‘Pembaruan Islam’ itu juga merupakan suatu usaha untuk menjaga eksistensi Islam di tengah-tengah dunia di sepanjang perjalanan sejarah. Pemaknaan ‘pembaruan Islam’ yang telah ada sebelumnya tidak mampu memperbaiki keadaan menjadi lebih baik dan mengalami banyak distorsi sehingga pembaruan hanya tinggal sekedar nama.

Ala kulli hal, ada satu prinsip yang sangat indah mengenai masalah “eksistensi” ini.
“Tidak usah mengejar kupu-kupu, tapi jadilah Bunga yang harum. Tidak usah mencari eksistensi. Eksistensi itu akan ada dan terasa dengan sendirinya dengan kualitas baik keberislaman kita.”
 Wallahu A’lam.
Wa maa yadzdzakkaru illaa Ulul Albaab.
Jatinangor, 21 Agustus 2011/21 Ramadhan 1432, 3:26 AM menunggu sahur.
Diambil dari https://www.facebook.com/notes/muhamad-hasan/berjuang-untuk-eksistensi-atau-eksistensi-untuk-berjuang/10150417912097786

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Admin -Humas dan Informasi-